Pages

Monday, 14 December 2015

KUMPULAN MAKALAH TENTANG FIQIH MAWARIS, (PENGERTIAN, SEBAB, DZAWIL FURUDZ, ASHOBAH, & HIJAB-MAHJUB)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Kata Pengantar
        Kematian seseorang membawa pengaruh dan akibat bagi diri, keluarga, masarakat, dan lingkungan sekitarnya. Selain itu kematian tersebut menimbulkan kewajiban orang lain bagi dirinya(si mayit) yang berhubungan dengan pengurusan jenazahnya. Dengan kematian timbul pula akibat hukum lain secara otomatis, yaitu adanya hubungan ilmu hukum yang menyangkut hak keluarganya(ahli waris) terhadap seluruh harta peninggalannya.

     Harta peninggalan seseorang yang telah meningggal dunia sering kali menimbulkan sengketa dan pertengkaran dalam sebuah keluarga dimana akhirnya memutuskan hubungan silaturrahmi atau tali persaudaraan  dalam keluarga. Padahal memutuskan tali persaudaraan adalah hal yang di haramkan dalam Islam.

       Adanya kematian seseorang mengakibatkan timbulnya cabang ilmu hukum yang menyangkut bagaiman cara menyelesaikan harta peninggalan kepada keluarganya yang di kenal dengan nama Ilmu Mawaris, Fiqih Mawaris, atau Ilmu Faraid. Oleh karena itu, kita harus mengerti dan paham masalah waris mewarisi, hak waris dan lainnya agar dapat kita terapkan di dalam keluarga kita.

B. Rumusan Masalah
  1. Apa yang di maksut dengan Fiqih Mawaris ?
  2. Bagaimana Cara menerapkan Fiqih Mawaris dalam kehidupan kita ?
 
C. Tujuan Penulisan
  1. Mengetahui dan mengerti serta bisa menerapkan Fiqih Mawaris dalam Kehidupan sehari-hari. 
 2.Untuk memperdalam pemahaman Mahasiswa agar mempunyai wawasan yang luas tentang Fiqih Mawaris.

 



BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Fiqih Mawaris
a. Pengertian
      Mawaris secara etimologi adalah bentuk jamak dari kata tunggal miras artinya warisan. Dalam hukum islam di kenal adanya ketentuan-ketentuan tentang siapa yang termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan, dan ahli waris yang tidak berhak menerimanya. Istilah Fiqih Mawaris dimaksudkan ilmu iqih yang  mempelajari siapa-siapa ahli waris yang berhak menerima warisan, siapa yang tidak berhak menerima, serta bagian-bagian tertentu yang di terimanya. Fiqih Mawaris di sebut juga ilmu Faraid, bentuk jamak dari kata tunggal faridah artinya ketentuan-ketentuan bagian ahli waris yang di atur secara rinci di dalam alqur’an.
Alqur’an banyak menggunakan kata kerja warasa seperti QS.al-Naml ayat 16:                                           
.وَوَرِثَ سُلَيمٰنُ داوۥدَ ۖ وَقالَ يٰأَيُّهَا النّاسُ عُلِّمنا مَنطِقَ الطَّيرِ وَأوتينا مِن كُلِّ شَيءٍ ۖ إِنَّ         هٰذا لَهُوَ الفَضلُ المُبينُ                                   
Artinya:’’Dan Nabi Sulaiman mewarisi (pangkat kenabian dan kerajaan) Nabi Daud; dan (setelah itu) Nabi Sulaiman berkata: "Wahai umat manusia, kami telah diajar mengerti bahasa pertuturan burung, dan kami telah diberikan serba sedikit dari tiap-tiap sesuatu (yang diperlukan); sesungguhnya yang demikian ini adalah limpah kurnia (dari Allah) yang jelas nyata".

       Ayat di atas artinya Nabi Sulaiman menggantikan kenabian dan kerajaan nabi dawud as. Serta mewarisi ilmu pengetahuannya.[1]

     Secara terminologi, Fiqih Mawaris yaitu ilmu yang mempelajari tentang siapa orang-orang yang termasuk ahli waris, siapa yang tidak, berapa bagian-bagiannya dan bagaimana cara menghitungnya. Al-Syarbiny dalam kitab muqni al- Muhtaj juz 3 bahwa fiqih mawaris adalah fiqih yang berkaitan dengan pembagian harta warisan, mengetahui  perhitungan agar sampai kepada mengetahui  pembagian harta warisan, dan bagian-bagian  yang wajib yang di terima dari harta peninggalan untuk setiap yang berhak. 

b. Beberapa Istilah dalam Fiqih Mawaris 
-Waris,adalah orang yang termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan. Ada ahli waris yang dekat hubungan kekerabatannya tetapi tidak berhak  menerima warisan. Dalam fiqih mawaris ahli waris semacam ini di sebut zawil al arham. Waris bisa timbul karena hubungan darah, karena hubungan perkawinan, dank arena akibat memerdekakan hamba.

-Muwaris, artinya orang yang di warisi harta peninggalannya, yaitu orang yang meninggal dunia,baik orang yang meninggal secara haqiqi ,secara taqdiry(perkiraan),atau melalui keputusan hakim. Seperti orang yang hilang dan tidak di ketahui kabar dan domisilinya .Setelah melalui persaksian atau tenggang waktu tertentu hakim menyatakan bahwa ia di nyatakan meninggal dunia.

-Al-Irs, Artinya harta warisan yang siap di bagi oleh ahli waris sesudah di ambil untuk kepentingan pemeliharaan jenazah,pelunasan utang,serta pelaksanaan wasiat. 

-Warasah, Artinya harta yang telah di terima oleh ahli waris .

-Tirkah, Artinya semua harta peninggalan orang yang meninggal dunia sebelum di ambil untuk kepentingan pemeliharaan jenazah, pembayaran utang, dan pelaksanaan wasiat.[2]
 
B.Sebab-Sebab Mawaris
    Menurut islam, mempusakai atau mewarisi itu berfungsi menggantikan kedudukan si mati dalam memiliki dan memanfaatkan harta miliknya. Bijaksana sekali kiranya kalau penggantian ini di percayakan kepada orang-orang yang banyak memberikan bantuan , pertolongan, pelayanan,pertimbangan dalam kehidupan berumah tangga dan mencurahkan tenaga dan harta demi pendidikan putra-putranya, seperti suami istri.
                     
      Atau di percayakan kepada orang-orang yang selalu mnjunjung martabat dan nama baiknya dan selalu mendoakan sepeninggalnya, seperti anak-anak turunnya . Atau di percayakan kepada orang yang telah banyak menumpahkan kasih sayang, menafkahinya, mendidiknya dan mendewasakannya, seperti orang tua. Atau di percayakan kepada orang yang telah mengorbankan sebagian harta bendanya untuk membebaskan dari perbudakannya menjadi manusia yang mempunyai hak kemerdekaan penuh dan cakap bertindak, seperti maulal-‘ataqah (orang yang membebaskan budak).
 
Mereka-mereka tersebut diatas mempunyai hak dan dapat mewarisi, karena mempunyai sebab-sebab yang mengikatnya. Menurut mufassirin, sebab-sebab terjadinya kewarisan dalam Al-Qur’an ada 3. sebab-sebab itu adalah :
-  Hubungan perkawinan
-  Hubungan kekerabatan
-  Hubungan memerdekakan budak (Wala’)
a.  Hubungan perkawinan
      Hubungan perkawinan adalah suami-istri saling mewarisi karena mereka telah melakukan aqad perkawinan secara sah, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim (bersanggama) antar keduanya.

       Dengan demikian, suami dapat menjadi ahli waris dari istrinya. Demikian pula sebaliknya, istri dapat menjadi ahli waris dari suaminya.

     Tapi berbeda dengan urusan mahram, yang berhak mewarisi disini hanyalah suami atau istri saja, sedangkan mertua, menantu, ipar dan hubungan lain akibat adanya pernikahan, tidak menjadi penyebab adanya pewarisan, meski mertua dan menantu tinggal serumah. Maka seorang menantu tidak mendapat warisan apa-apa bila mertuanya meninggal dunia.

          Demikian juga sebaliknya, kakak ipar yang meninggal dunia tidak memberikan warisan kepada adik iparnya, meski mereka tinggal serumah.

       Perkawinan yang menjadi sebab mewarisi memerlukan 2 syarat :
a.  Akad perkawinan itu sah menurut syariat, baik kedua suami istri itu telah berkumpul maupun belum. Ketentuan ini berdasarkan :
·  Keumuman ayat-ayat mawarits, dan
·  Tindakan rasulullah SAW bahwa beliau;
“telah memutuskan kewarisan Barwa’ Binti Wasyiq. Suaminya telah meninggal dunia sebelum mengumpulinya dan belum menetapkan maskawinnya”.

      Putusan rasulullah ini menunjukan bahwa pernikahan antara Barwa’ dengan suaminya adalah sah. Suatu perkawinan dianggap sah tidak semata-mata tergantung kepada telah terlaksana hubungan suami-istri dan telah dilunasinya pembayaran maskawin oleh suami, tetapi tergantung kepada terpenuhinya syarat dan rukun perkawinan.

      Adapun pernikahan yang batil atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris. Misalnya pernikahan tanpa wali dan saksi, maka pernikahan itu batil dan tidak bisa saling mewarisi antara suami dan istri.

b. Ikatan perkawinan antara suami istri itu masih utuh atau di anggap masih utuh.
      Suatu perkawinan dianggap masih utuh bila perkawinan itu telah diputuskan dengan Talaq Raja’iy, tetapi masa iddah Raja’i bagi seorang istri belum selesai maka perkawinan tersebut dianggap masih utuh.

    Berkaitan dengan perkawinan yang menyebabkan saling mewarisi adalah perkawinan yang masih utuh atau dianggap masih utuh. Yang dimaksud dengan perkawinan yang dianggap masih utuh ialah apabila perkawinan telah diputus dengan thalak raj’i (cerai pertama dan kedua) dan masa iddah raj’i bagi seorang isteri belum selesai. Perkawinan tersebut dianggap masih utuh karena selama masa iddah, suami berhak penuh merujuk isterinya tanpa memerlukan kerelaan isteri, tanpa membayar mas kawin baru dan tanpa menghadirkan dua orang saksi dan wali. Dengan demikian hak suami istri untuk saling mewarisi tidak hilang. Lain halnya dengan talak bain yang membawa akibat putusnya ikatan perkawinan sejak talaq dijatuhkan.

b. hubungan kekerabatan
   Kekerabatan ialah hubungan nasab antara orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi yang disebabkan oleh kelahiran. Kekerabatan merupakan sebab memperoleh hak mewarisi yang terkuat, karena kekerabatan termasuk unsure causalitas adanya seseorang yang tidak dapat dihilangkan. Berlainan dengan perkawinan, jika perkawinan telah putus (cerai) maka dapat hilang. 

    Dasar hukum kekerabatan sebagai ketentuan adanya hak kewarisan adalah firman Allah :
‘’Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. (Q.S. An-Nisa’ : 7).’’

      Demikian pula dalam surat al-Anfal ayat 75 :

…Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) didalam kitab Allah. (Q.S. Al-Anfal : 75).

      Adapun sebab sebab terjadinya mewaris disebabkan oleh:
-     Adanya hubungan kekerabatan (nasab);
-     Adanya hubungan perkawinan (sabab).
      Kedua hal tersebut telah terangkum dalam pengertian ahli waris yang diatur dalam Pasal 171 huruf c. Menurut Pasal tersebut, ahli waris adalah:
 “orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah  atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.”

c. Hubungan memerdekakan budak (Wala’)

Wala’ dalam pengertian syariat adalah ;

1. Kekerabatan menurut hukum yang timbul karena membebaskan (memberi hak emansipasi) budak.
2. Kekerabatan menurut hukum yang timbul karena adanya perjanjian tolong menolong dan sumpah setia antara seseorang dengan seseorang yang lain.

      Wala’ yang pertama disebut dengan wala’ul ‘ataqah (disebabkan karena adanya sebab telah membebaskan budak) Orang yang membebaskan budak disebut mu’tiq jika laki-laki dan mu’tiqah jika perempuan. Sedangkan wala’ yang kedua disebut dengan walaul-muwalah, yaitu wala’ yang timbul akibat kesediaan seseorang tolong menolong dengan yang lain melalui suatu perjanjian. Misalnya seseorang berkata kepada orang lain; wahai fulan engkau dapat mewarisi hartaku bila aku telah mati dan dapat mengambil diyat (denda) untukku bila aku dilukai seseorang, demikian pula aku dapat mewarisi hartamu dan menagambil diyat karenamu. Kemudian orang lain tersebut menerima perjanjian itu. Pihak pertama disebut al-mawali dan pihak kedua disebut al-mawala.

    Adapun bagian orang yang memerdekakan hamba sahaya (budak) adalah 1/6 (seperenam) dari harta peninggalan. Terhadap wala al-muwalah menurut jumhur ulama demikian pula Undang-undang Kewarisan Mesir telah dinasakah melalui surat al-Anfal ayat 75 :

‘’Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) didalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.’’
  
C. Dzawil  Furudz
        Orang-orang yang dapat mewarisi seseorang yang meninggal dunia itu berjumlah 25 orang yang terdiri 15 orang laki-laki dan 10 orang dari pihak perempuan. Di dalam kitab kifayatul akhyar secara ringkas di katakana ahli waris dari laki-laki ialah:[3]
1. Anak laki-laki
2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki, dan seterusnya ke bawah
3. Ayah
4.Kakek(ayah dari ayah)dan seterusnya ke atas
5. Saudara laki-laki seibu seayah
6. Saudara laki-laki seayah
7. Saudara laki-laki seibu
8. Kemenakan laki-laki (keponakan laki-laki dari no:5)
9. Kemenakan laki-laki (anak laki-laki dari no:6) dan seterusnya ke bawah berturut-turut yang keluar dari jurusan laki-laki
10. saudara ayah(paman) seibu seayah
11.Saudara ayah (paman) yang seayah
12.Anak paman yang seibu seayah (anak laki-laki) dari no:10
13. Anak paman yang seibu seayah (anak laki-laki dari no:11 dan seterusnya ke bawah
14. Suami
15. Orang laki-laki yang memerdekanya.
     Tetapi, andaikata semua ahli waris tersebut di atas ada semuanya, tidaklah semuanya mendapatkan warisan, hanya ada 3 orang saja yang mendapatkan warisan yakni ayah,anak,suami.

       Adapun ahli waris dari pihak perempuan ada 10 orang yaitu:
1. Anak perempuan
2.Anak perempuan dari laki-laki dan seterusnya ke bawah berturut-turut dari jurusan laki-laki
3. Nenek perempuan(ibunya ibu) dan seterusnya berturut-turut dari jurusan perempuan
4.ibu
5.Nenek perempuan(ibunya ayah) dan seterusnya ke atasdari jurusan ayah(laki-laki)
6. Saudara perempuan yang seibu seayah
7. Saudara perempuan seayah
8. Saudara perempuan seibu
9. Istri
10.Orang perempuan yang memerdekannya. 

       Kalau seandainya sepuluh orang tersebut semuanya ada,maka yang mendapatkan warisan hanya lima orang saja yaitu:anak perempuan, anak perempuan dari anak laki-laki, ibu, saudara perempuan seibu seayah, istri.

      Andaikata semua ahli waris 25 orang tersebut semuanya ada, maka yang mendapatkan warisan adalah :ayah, ibu, anak laki-laki, anak perempuan, suami.[4]
 
D. Ashobah
Ashabah (‘Ashobaat nasabiyah) adalah nasab atau kerabat atau ahli waris dari si mayit yang berhak mendapatkan sisa dari harta warisan yang telah di bagikan. Jika Ashabu Furudl tidak ada maka dan hanya satu-satunya maka dia berhak menerima semua harta warisan, tetapi jika ada Ashabul Furudl maka Ashabah hanya akan mendapatkan sisa. Dalil atas pewarisan Ashabah berasal dari Al-qur’an dan sunnah. Adapun dalilnya yaitu:
‘’Dan untuk Ibu Bapak, bagi masing-masing adalah seperenam dari harta yang di tinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak. Jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia di warisi  oleh ibu bapaknya saja, maka ibunya mendapat sepertiga’’ (An-Nisa’ : 11).                                                                                                            
        Ashabah dibagi menjadi 3 yaitu sebagai berikut:
1. Ashabah bin Nafs
Adalah setiap laki-laki yang sangat erat hubungan kekerabatannya dengan si mayit, yang tidak diselingi oleh perempuan. Mereka itu adalah: Anak laki-laki, anak laki-laki dari anak laki-laki (dan terus ke bawah), ayah, kakek, saudara sekandung laki-laki, saudara seayah laki-laki, anak laki-laki dari saudara sekandung laki-laki, anak laki-laki dari saudara seayah laki-laki, paman (sekandung dengan ayah), paman (seayah dengan ayah), anak laki-laki dari paman yang sekandung dengan ayah, dan anak laki-laki dari paman yang seayah dengan ayah.

Bila salah satu dari mereka adalah satu-satunya ahli waris, maka dia berhak menerima seluruh harta warisan, namun bila ashabul furudl bersama mereka maka mendapatkan sisa setelah ashabul furudl mendapatkan bagiannya masing-masing.

2.Ashabah bil Ghoir
Ashabah karena bersama-sama ahli waris lainnya, seperti anak perempuan yang ditarik anak laki-laki. Orang yang termasuk ashabah ini ada 4, yaitu:
1. Seorang anak perempuan satu atau lebih.
2. Anak perempuan dari anak laki-laki (satu atau lebih).
3. Saudara perempuan sekandung (satu atau lebih) bersama saudara laki-laki sekandung (satu atau lebih).
4. Saudara perempuan seayah (satu atau lebih) bersama saudara laki-laki seayah (satu atau lebih).[5]
5. Catatan: dalam hal ini bagian laki-laki dua kali bagian perempuan.
3. Ashabah ma’al Ghoir
Yakni Ashabah karena bersama-sama ahli waris lainnya. Saudara perempuan sekandung satu orang atau lebih yang mewarisi bersama-sama dengan anak perempuan (satu atau lebih) atau bersama-sama dengan cucu perempuan dari anak laki-laki (satu atau lebih), atau bersama keduanya. Dalam hal ini saudara perempuan sekandung seolah-olah seperti saudara laki-laki sekandung yang mendapatkan bagian waris secara ashobah / sisa, dan menjadi penghalang ashobah bin nafs dibawahnya.

Saudara perempuan seayah satu orang atau lebih yang mewarisi bersama-sama dengan anak perempuan (satu atau lebih) atau bersama-sama dengan cucu perempuan dari anak laki-laki (satu atau lebih), atau bersama keduanya. Dalam hal ini saudara perempuan seayah seolah-olah seperti saudara laki-laki seayah yang mendapatkan bagian waris secara ashobah / sisa, dan menjadi penghalang ashobah bin nafs dibawahnya.

E.HijabMahjub                                                                                                                                                           Hijab artinya dinding. Menurut istilah faraidz ialah halangan kepada bagian ahli waris untuk mendapatkan warisan/bagian, karena terdinding oleh ahli waris yang lain. Sedang kan Mahjub adalah seseorang yang terhalangi menerima warisan karena adanya ahli waris yang hubungan kekerabatan yang lebih dekat dan lebih kuat kedudukannya. Adanya mahjub tentu di pengaruhi oleh adanya Hajib, yakni seseorang yang menghalangi orang lain untuk mendapatkan warisan. Ada pula yang disebut dengan Mahrum, yaitu orang yang tidak berhak untuk mewarisi. Mahrum sama sekali tidak mempengaruhi orang lain bahkan sama sekali dianggap tidak ada. Contohnya adalah seseorang yang membunuh orang yang mewarisi. 

       Hijab dapat di bagi menjadi dua golongan yaitu:
a.HijabHirman                                                                                                                      yakni adalah terhalangnya mendapatkan warisan karena adanya orang lain. Kakek terhijab oleh adanya bapak, cucu terhijab oleh adanya anak laki-laki, saudara laki-laki seayah terhalang oleh saudara laki-laki sekandung. 

        Hijab hirman ini dapat di bagi menjadi dua yaitu:
a.HijabBilwashfi                                                                                                                       Yaitu menghalangi seorang ahli waris mendapatkan warisan karena sebab membunuh muwaris dan berbeda agama. Orang yang membunuh keluarganya tidak mendapat pusaka dari keluarganya yang di bunuhnya itu. Sabda Rasulullah SAW:’’ Yang membunuh tidak mewarisi sesuatupun dari yang di bunuhnya ‘’.[6] Para ulama telah sepakat bahwa orang kafir tidak mewarisi dan mewariskan harta orang islam. Begitu pula mereka sepakat bahwa orang islam tidak mewarisi dan mewariskan harta orang kafir. Yang di praktekkan oleh kebanyakan fuqoha adalah perbedaan agama antara islam dan kafir menghalangi warisan dari kedua pihak. Begitu pula mereka sepakat bahwa kafir yang seagama boleh saling mewarisi di antara mereka apabila mereka dalam satu Negara.[7]

b. Hijab Bisyakhsi.                                                                                   Yaitu seorang ahli waris terhalang mendapatkan warisan karena ada ahli waris lain yang lebih berhak.

b.HijabNuqshan                                                                                                                  Berkurangnya warisan salah seorang ahli waris karena ada ahli waris lainnya. Seorang suami terhalang mendapat ½ karena adanya keturunan anak laki-laki atau perempuan dan ia hanya mendapat ¼. Seorang istri terhalang mendapatkan ¼ karena suami meninggalkan keturunan dan ia hanya mendapat 1/8.  Ibu terhalang mendapatkan 1/3 karena ada anak laki-laki/ perempuan. Perempuan terhalang anak laki-laki begitu seterusnya.

     Hijab hirman bisyakhsi itu tidak akan mengenai kepada lima orang,melainkan kepada orang-orang selain lima ini yaitu:ayah,anak laki-laki,anak perempuan,suami atau istri,ibu. Adapun orang-orang yang terkena hijab hirman bisyakshi seperti kakek terhalang oleh ayah, Nenek terhalang oleh ibu,Cucu dan seterusnya ke bawah terhalang oleh anak laki-laki,begitu seterusnya.





BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan                                                                                                                          Mawaris secara etimologi adalah bentuk jamak dari kata tunggal miras artinya warisan. Dalam hukum islam di kenal adanya ketentuan-ketentuan tentang siapa yang termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan, dan ahli waris yang tidak berhak menerimanya. Istilah Fiqih Mawaris dimaksudkan ilmu Fiqih yang  mempelajari siapa-siapa ahli waris yang berhak menerima warisan, siapa yang tidak berhak menerima, serta bagian-bagian tertentu yang di terimanya. Sedangkan Secara terminologi, Fiqih Mawaris yaitu ilmu yang mempelajari tentang siapa orang-orang yang termasuk ahli waris, siapa yang tidak, berapa bagian-bagiannya dan bagaimana cara menghitungnya.

      Adapun Sebab-sebab terjadinya kewarisan dalam Al-Qur’an ada 3 sebab diantaranya: Hubungan perkawinan,hubungan kekerabatan dan hubungan memerdekakan budak(wala’). Dzawul furudz yaitu orang-orang yang dapat mewarisi seseorang yang meninggal dunia.Dzawul Furudz itu berjumlah 25 yang terdiri dari 15 dari pihak laki-laki dan 10 dari pihak prempuan.

        Ashabah (‘Ashobaat nasabiyah) adalah nasab atau kerabat atau ahli waris dari si mayit yang berhak mendapatkan sisa dari harta warisan yang telah di bagikan. Jika Ashabu Furudl tidak ada maka dan hanya satu-satunya maka dia berhak menerima semua harta warisan, tetapi jika ada Ashabul Furudl maka Ashabah hanya akan mendapatkan sisa. Sedangkan Hijab(dinding) dibagi menjadi 2 golongan yaitu Hijab hirman dan Hijab nuqshan.Hijab Hirman yaitu terhalangnya mendapat warisan karena adanya orang lain sedangkan yang di maksut hijab nuqshan yaitu berkurangnya warisan salah seorang ahli waris karena ada ahli waris lainya.




DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993.
Moh.Anwar, Faraidl Hukum Waris dalam Islam dan Masalah-Masalahnya, Surabaya: Al-Ikhlas, 1997.
Muchamad Ali Ash-Shabuni, Ilmu Hukum Waris Menurut Ajaran Islam, Surabaya: Mutiara Ilmu, 1388.
Mahmud Syalthut, Fiqih Tujuh Mazhab, Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: Lentera, 2013.
Sulaiman Rasjid,Fiqih Islam,Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2013.








[1]Ahmad Rofiq,Fiqih Mawaris,(Jakarta:Raja Grafindo Persada,1993), h. 2.
[2] Ibid., h. 3
[3] Moh. Anwar, Faraidl Hukum Waris dalam Islam dan Masalah-Masalahnya, (Surabaya: Al-Ikhlas,1997), h. 21
[4] Ibid., h. 23
[5] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab,  (Jakarta: Lentera,2013), h. 554
[6]Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2013), h.351
[7]Mahmud Syalthut, Fiqih Tujuh Mazhab, (Bandung: Pustaka Setia,2000), h. 293

No comments:

Post a Comment