BAB I
PENDAHULUAN
A. Kata Pengantar
Kematian seseorang membawa pengaruh dan akibat bagi diri,
keluarga, masarakat, dan lingkungan sekitarnya. Selain itu kematian tersebut
menimbulkan kewajiban orang lain bagi dirinya(si mayit) yang berhubungan dengan
pengurusan jenazahnya. Dengan kematian timbul pula akibat hukum lain secara
otomatis, yaitu adanya hubungan ilmu hukum yang menyangkut hak keluarganya(ahli
waris) terhadap seluruh harta peninggalannya.
Harta peninggalan seseorang yang telah meningggal dunia
sering kali menimbulkan sengketa dan pertengkaran dalam sebuah keluarga dimana
akhirnya memutuskan hubungan silaturrahmi atau tali persaudaraan dalam keluarga. Padahal memutuskan tali
persaudaraan adalah hal yang di haramkan dalam Islam.
Adanya kematian seseorang mengakibatkan
timbulnya cabang ilmu hukum yang menyangkut bagaiman cara menyelesaikan harta
peninggalan kepada keluarganya yang di kenal dengan nama Ilmu Mawaris, Fiqih
Mawaris, atau Ilmu Faraid. Oleh
karena itu, kita harus mengerti dan paham masalah waris mewarisi, hak waris dan
lainnya agar dapat kita terapkan di dalam keluarga kita.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksut dengan Fiqih Mawaris ?
2. Bagaimana Cara menerapkan Fiqih Mawaris dalam
kehidupan kita ?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui dan
mengerti serta bisa menerapkan Fiqih Mawaris dalam Kehidupan sehari-hari.
2.Untuk memperdalam
pemahaman Mahasiswa agar mempunyai wawasan yang luas tentang Fiqih Mawaris.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Fiqih Mawaris
a.
Pengertian
Mawaris secara etimologi adalah bentuk jamak dari kata
tunggal miras artinya warisan. Dalam hukum islam di kenal adanya
ketentuan-ketentuan tentang siapa yang termasuk ahli waris yang berhak menerima
warisan, dan ahli waris yang tidak berhak menerimanya. Istilah Fiqih Mawaris
dimaksudkan ilmu iqih yang mempelajari siapa-siapa
ahli waris yang berhak menerima warisan, siapa yang tidak berhak menerima,
serta bagian-bagian tertentu yang di terimanya. Fiqih Mawaris di sebut juga
ilmu Faraid, bentuk jamak dari kata tunggal faridah artinya ketentuan-ketentuan
bagian ahli waris yang di atur secara rinci di dalam alqur’an.
Alqur’an banyak
menggunakan kata kerja warasa seperti QS.al-Naml ayat 16:
.وَوَرِثَ سُلَيمٰنُ داوۥدَ ۖ وَقالَ يٰأَيُّهَا النّاسُ
عُلِّمنا مَنطِقَ الطَّيرِ وَأوتينا مِن كُلِّ شَيءٍ ۖ إِنَّ هٰذا
لَهُوَ الفَضلُ المُبينُ
Artinya:’’Dan Nabi Sulaiman mewarisi
(pangkat kenabian dan kerajaan) Nabi Daud; dan (setelah itu) Nabi Sulaiman
berkata: "Wahai umat manusia, kami telah diajar mengerti bahasa pertuturan
burung, dan kami telah diberikan serba sedikit dari tiap-tiap sesuatu (yang
diperlukan); sesungguhnya yang demikian ini adalah limpah kurnia (dari Allah)
yang jelas nyata".
Ayat di atas artinya
Nabi Sulaiman menggantikan kenabian dan kerajaan nabi dawud as. Serta mewarisi
ilmu pengetahuannya.[1]
Secara terminologi, Fiqih Mawaris yaitu ilmu yang
mempelajari tentang siapa orang-orang yang termasuk ahli waris, siapa yang
tidak, berapa bagian-bagiannya dan bagaimana cara menghitungnya. Al-Syarbiny
dalam kitab muqni al- Muhtaj juz 3 bahwa fiqih mawaris adalah fiqih yang
berkaitan dengan pembagian harta warisan, mengetahui perhitungan agar sampai kepada
mengetahui pembagian harta warisan, dan
bagian-bagian yang wajib yang di terima dari
harta peninggalan untuk setiap yang berhak.
b.
Beberapa Istilah dalam Fiqih Mawaris
-Waris,adalah
orang yang termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan. Ada ahli waris
yang dekat hubungan kekerabatannya tetapi tidak berhak menerima warisan. Dalam fiqih mawaris ahli
waris semacam ini di sebut zawil al arham. Waris bisa timbul karena hubungan
darah, karena hubungan perkawinan, dank arena akibat memerdekakan hamba.
-Muwaris,
artinya orang yang di warisi harta peninggalannya, yaitu orang yang meninggal
dunia,baik orang yang meninggal secara haqiqi ,secara taqdiry(perkiraan),atau
melalui keputusan hakim. Seperti orang yang hilang dan tidak di ketahui kabar
dan domisilinya .Setelah melalui persaksian atau tenggang waktu tertentu hakim
menyatakan bahwa ia di nyatakan meninggal dunia.
-Al-Irs,
Artinya harta warisan yang siap di bagi oleh ahli waris sesudah di ambil untuk
kepentingan pemeliharaan jenazah,pelunasan utang,serta pelaksanaan wasiat.
-Warasah,
Artinya harta yang telah di terima oleh ahli waris .
-Tirkah,
Artinya semua harta peninggalan orang yang meninggal dunia sebelum di ambil
untuk kepentingan pemeliharaan jenazah, pembayaran utang, dan pelaksanaan
wasiat.[2]
B.Sebab-Sebab
Mawaris
Menurut islam, mempusakai atau
mewarisi itu berfungsi menggantikan kedudukan si mati dalam memiliki dan
memanfaatkan harta miliknya. Bijaksana sekali kiranya kalau penggantian ini di
percayakan kepada orang-orang yang banyak memberikan bantuan , pertolongan,
pelayanan,pertimbangan dalam kehidupan berumah tangga dan mencurahkan tenaga
dan harta demi pendidikan putra-putranya, seperti suami istri.
Atau di percayakan kepada
orang-orang yang selalu mnjunjung martabat dan nama baiknya dan selalu
mendoakan sepeninggalnya, seperti anak-anak turunnya . Atau di percayakan
kepada orang yang telah banyak menumpahkan kasih sayang, menafkahinya,
mendidiknya dan mendewasakannya, seperti orang tua. Atau di percayakan kepada
orang yang telah mengorbankan sebagian harta bendanya untuk membebaskan dari
perbudakannya menjadi manusia yang mempunyai hak kemerdekaan penuh dan cakap
bertindak, seperti maulal-‘ataqah (orang yang membebaskan budak).
Mereka-mereka tersebut diatas
mempunyai hak dan dapat mewarisi, karena mempunyai sebab-sebab yang
mengikatnya. Menurut mufassirin, sebab-sebab terjadinya kewarisan dalam
Al-Qur’an ada 3. sebab-sebab
itu adalah :
- Hubungan perkawinan
- Hubungan kekerabatan
- Hubungan memerdekakan
budak (Wala’)
a. Hubungan perkawinan
Hubungan
perkawinan adalah suami-istri saling mewarisi karena mereka telah melakukan
aqad perkawinan secara sah, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim
(bersanggama) antar keduanya.
Dengan demikian, suami dapat menjadi ahli waris dari
istrinya. Demikian pula sebaliknya, istri dapat menjadi ahli waris dari
suaminya.
Tapi berbeda dengan urusan mahram,
yang berhak mewarisi disini hanyalah suami atau istri saja, sedangkan mertua,
menantu, ipar dan hubungan lain akibat adanya pernikahan, tidak menjadi
penyebab adanya pewarisan, meski mertua dan menantu tinggal serumah. Maka
seorang menantu tidak mendapat warisan apa-apa bila mertuanya meninggal dunia.
Demikian
juga sebaliknya, kakak ipar yang meninggal dunia tidak memberikan warisan
kepada adik iparnya, meski mereka tinggal serumah.
Perkawinan yang menjadi sebab
mewarisi memerlukan 2 syarat :
a. Akad perkawinan itu
sah menurut syariat, baik kedua suami istri itu telah berkumpul maupun belum.
Ketentuan ini berdasarkan :
· Keumuman
ayat-ayat mawarits, dan
· Tindakan
rasulullah SAW bahwa beliau;
“telah memutuskan kewarisan Barwa’
Binti Wasyiq. Suaminya telah meninggal dunia sebelum mengumpulinya dan belum
menetapkan maskawinnya”.
Putusan rasulullah ini menunjukan
bahwa pernikahan antara Barwa’ dengan suaminya adalah sah. Suatu perkawinan
dianggap sah tidak semata-mata tergantung kepada telah terlaksana hubungan
suami-istri dan telah dilunasinya pembayaran maskawin oleh suami, tetapi
tergantung kepada terpenuhinya syarat dan rukun perkawinan.
Adapun pernikahan yang batil atau
rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris. Misalnya
pernikahan tanpa wali dan saksi, maka pernikahan itu batil dan tidak bisa
saling mewarisi antara suami dan istri.
b. Ikatan perkawinan antara
suami istri itu masih utuh atau di anggap masih utuh.
Suatu
perkawinan dianggap masih utuh bila perkawinan itu telah diputuskan dengan
Talaq Raja’iy, tetapi masa iddah Raja’i bagi seorang istri belum selesai maka
perkawinan tersebut dianggap masih utuh.
Berkaitan
dengan perkawinan yang menyebabkan saling mewarisi adalah perkawinan yang masih
utuh atau dianggap masih utuh. Yang dimaksud dengan perkawinan yang dianggap
masih utuh ialah apabila perkawinan telah diputus dengan thalak raj’i (cerai
pertama dan kedua) dan masa iddah raj’i bagi seorang isteri belum selesai. Perkawinan
tersebut dianggap masih utuh karena selama masa iddah, suami berhak penuh
merujuk isterinya tanpa memerlukan kerelaan isteri, tanpa membayar mas kawin
baru dan tanpa menghadirkan dua orang saksi dan wali. Dengan
demikian hak suami istri untuk saling mewarisi tidak hilang. Lain halnya dengan
talak bain yang membawa akibat putusnya ikatan perkawinan sejak talaq dijatuhkan.
b. hubungan kekerabatan
Kekerabatan
ialah hubungan nasab antara orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi
yang disebabkan oleh kelahiran. Kekerabatan merupakan sebab memperoleh hak
mewarisi yang terkuat, karena kekerabatan termasuk unsure causalitas adanya
seseorang yang tidak dapat dihilangkan. Berlainan dengan perkawinan, jika
perkawinan telah putus (cerai) maka dapat hilang.
Dasar hukum kekerabatan sebagai
ketentuan adanya hak kewarisan adalah firman Allah :
‘’Bagi laki-laki ada hak bagian dari
harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya dan bagi wanita ada hak bagian
(pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau
banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. (Q.S. An-Nisa’ : 7).’’
Demikian pula dalam surat al-Anfal
ayat 75 :
…Orang-orang yang mempunyai hubungan
kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan
kerabat) didalam kitab Allah. (Q.S. Al-Anfal : 75).
Adapun sebab sebab terjadinya
mewaris disebabkan oleh:
- Adanya
hubungan kekerabatan (nasab);
- Adanya
hubungan perkawinan (sabab).
Kedua hal tersebut telah
terangkum dalam pengertian ahli waris yang diatur dalam Pasal 171 huruf c.
Menurut Pasal tersebut, ahli waris adalah:
“orang yang pada saat
meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris,
beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.”
c. Hubungan memerdekakan budak
(Wala’)
Wala’ dalam pengertian syariat
adalah ;
1. Kekerabatan
menurut hukum yang timbul karena membebaskan (memberi hak emansipasi) budak.
2. Kekerabatan
menurut hukum yang timbul karena adanya perjanjian tolong menolong dan sumpah
setia antara seseorang dengan seseorang yang lain.
Wala’
yang pertama disebut dengan wala’ul ‘ataqah (disebabkan karena adanya sebab
telah membebaskan budak) Orang yang membebaskan budak disebut mu’tiq jika
laki-laki dan mu’tiqah jika perempuan. Sedangkan wala’ yang kedua disebut
dengan walaul-muwalah, yaitu wala’ yang timbul akibat kesediaan seseorang
tolong menolong dengan yang lain melalui suatu perjanjian. Misalnya seseorang
berkata kepada orang lain; wahai fulan engkau dapat mewarisi hartaku bila aku
telah mati dan dapat mengambil diyat (denda) untukku bila aku dilukai
seseorang, demikian pula aku dapat mewarisi hartamu dan menagambil diyat
karenamu. Kemudian orang lain tersebut menerima perjanjian itu. Pihak pertama
disebut al-mawali dan pihak kedua disebut al-mawala.
Adapun
bagian orang yang memerdekakan hamba sahaya (budak) adalah 1/6 (seperenam) dari
harta peninggalan. Terhadap wala
al-muwalah menurut jumhur ulama demikian pula Undang-undang Kewarisan Mesir
telah dinasakah melalui surat al-Anfal ayat 75 :
‘’Orang-orang yang mempunyai
hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang
bukan kerabat) didalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.’’
C.
Dzawil Furudz
Orang-orang yang dapat mewarisi
seseorang yang meninggal dunia itu berjumlah 25 orang yang terdiri 15 orang
laki-laki dan 10 orang dari pihak perempuan. Di dalam kitab kifayatul akhyar
secara ringkas di katakana ahli waris dari laki-laki ialah:[3]
1.
Anak laki-laki
2.
Cucu laki-laki dari anak laki-laki, dan seterusnya ke bawah
3.
Ayah
4.Kakek(ayah
dari ayah)dan seterusnya ke atas
5.
Saudara laki-laki seibu seayah
6.
Saudara laki-laki seayah
7.
Saudara laki-laki seibu
8.
Kemenakan laki-laki (keponakan laki-laki dari no:5)
9.
Kemenakan laki-laki (anak laki-laki dari no:6) dan seterusnya ke bawah
berturut-turut yang keluar dari jurusan laki-laki
10.
saudara ayah(paman) seibu seayah
11.Saudara
ayah (paman) yang seayah
12.Anak
paman yang seibu seayah (anak laki-laki) dari no:10
13.
Anak paman yang seibu seayah (anak laki-laki dari no:11 dan seterusnya ke bawah
14.
Suami
15.
Orang laki-laki yang memerdekanya.
Tetapi, andaikata semua ahli waris
tersebut di atas ada semuanya, tidaklah semuanya mendapatkan warisan, hanya ada
3 orang saja yang mendapatkan warisan yakni ayah,anak,suami.
Adapun ahli waris dari pihak
perempuan ada 10 orang yaitu:
1.
Anak perempuan
2.Anak perempuan dari laki-laki dan seterusnya ke bawah berturut-turut dari
jurusan laki-laki
3.
Nenek perempuan(ibunya ibu) dan seterusnya berturut-turut dari jurusan
perempuan
4.ibu
5.Nenek
perempuan(ibunya ayah) dan seterusnya ke atasdari jurusan ayah(laki-laki)
6.
Saudara perempuan yang seibu seayah
7.
Saudara perempuan seayah
8.
Saudara perempuan seibu
9.
Istri
10.Orang
perempuan yang memerdekannya.
Kalau seandainya sepuluh orang
tersebut semuanya ada,maka yang mendapatkan warisan hanya lima orang saja
yaitu:anak perempuan, anak perempuan dari anak laki-laki, ibu, saudara
perempuan seibu seayah, istri.
Andaikata
semua ahli waris 25 orang tersebut semuanya ada, maka yang mendapatkan warisan
adalah :ayah, ibu, anak laki-laki, anak perempuan, suami.[4]
D. Ashobah
Ashabah
(‘Ashobaat nasabiyah) adalah nasab atau kerabat atau ahli waris dari si mayit
yang berhak mendapatkan sisa dari harta warisan yang telah di bagikan. Jika
Ashabu Furudl tidak ada maka dan hanya satu-satunya maka dia berhak menerima
semua harta warisan, tetapi jika ada Ashabul Furudl maka Ashabah hanya akan
mendapatkan sisa. Dalil atas pewarisan Ashabah berasal dari Al-qur’an dan
sunnah. Adapun dalilnya yaitu:
‘’Dan
untuk Ibu Bapak, bagi masing-masing adalah seperenam dari harta yang di
tinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak. Jika orang yang meninggal
tidak mempunyai anak dan ia di warisi
oleh ibu bapaknya saja, maka ibunya mendapat sepertiga’’ (An-Nisa’ : 11).
Ashabah dibagi menjadi 3 yaitu
sebagai berikut:
1. Ashabah
bin Nafs
Adalah
setiap laki-laki yang sangat erat hubungan kekerabatannya dengan si mayit, yang
tidak diselingi oleh perempuan. Mereka itu adalah: Anak laki-laki, anak
laki-laki dari anak laki-laki (dan terus ke bawah), ayah, kakek, saudara
sekandung laki-laki, saudara seayah laki-laki, anak laki-laki dari saudara
sekandung laki-laki, anak laki-laki dari saudara seayah laki-laki, paman
(sekandung dengan ayah), paman (seayah dengan ayah), anak laki-laki dari paman
yang sekandung dengan ayah, dan anak laki-laki dari paman yang seayah dengan
ayah.
Bila
salah satu dari mereka adalah satu-satunya ahli waris, maka dia berhak menerima
seluruh harta warisan, namun bila ashabul furudl bersama mereka maka
mendapatkan sisa setelah ashabul furudl mendapatkan bagiannya masing-masing.
2.Ashabah
bil Ghoir
Ashabah
karena bersama-sama ahli waris lainnya, seperti anak perempuan yang ditarik
anak laki-laki. Orang yang termasuk ashabah ini ada 4, yaitu:
1. Seorang
anak perempuan satu atau lebih.
2. Anak perempuan dari anak laki-laki (satu atau lebih).
3. Saudara perempuan sekandung (satu atau lebih) bersama saudara laki-laki
sekandung (satu atau lebih).
4. Saudara perempuan seayah (satu atau lebih) bersama saudara laki-laki seayah
(satu atau lebih).[5]
5. Catatan: dalam hal ini bagian laki-laki dua kali bagian perempuan.
3. Ashabah ma’al Ghoir
Yakni
Ashabah karena bersama-sama ahli waris lainnya. Saudara perempuan sekandung
satu orang atau lebih yang mewarisi bersama-sama dengan anak perempuan (satu
atau lebih) atau bersama-sama dengan cucu perempuan dari anak laki-laki (satu
atau lebih), atau bersama keduanya. Dalam hal ini saudara perempuan sekandung
seolah-olah seperti saudara laki-laki sekandung yang mendapatkan bagian waris
secara ashobah / sisa, dan menjadi penghalang ashobah bin nafs dibawahnya.
Saudara
perempuan seayah satu orang atau lebih yang mewarisi bersama-sama dengan anak
perempuan (satu atau lebih) atau bersama-sama dengan cucu perempuan dari anak
laki-laki (satu atau lebih), atau bersama keduanya. Dalam hal ini saudara
perempuan seayah seolah-olah seperti saudara laki-laki seayah yang mendapatkan
bagian waris secara ashobah / sisa, dan menjadi penghalang ashobah bin nafs
dibawahnya.
E.HijabMahjub Hijab
artinya dinding. Menurut istilah faraidz ialah halangan kepada bagian ahli
waris untuk mendapatkan warisan/bagian, karena terdinding oleh ahli waris yang
lain. Sedang kan Mahjub adalah seseorang yang terhalangi menerima warisan
karena adanya ahli waris yang hubungan kekerabatan yang lebih dekat dan lebih
kuat kedudukannya. Adanya mahjub tentu di pengaruhi oleh adanya Hajib, yakni
seseorang yang menghalangi orang lain untuk mendapatkan warisan. Ada pula yang
disebut dengan Mahrum, yaitu orang yang tidak berhak untuk mewarisi. Mahrum
sama sekali tidak mempengaruhi orang lain bahkan sama sekali dianggap tidak
ada. Contohnya adalah seseorang yang membunuh orang yang mewarisi.
Hijab dapat
di bagi menjadi dua golongan yaitu:
a.HijabHirman yakni
adalah terhalangnya mendapatkan warisan karena adanya orang lain. Kakek
terhijab oleh adanya bapak, cucu terhijab oleh adanya anak laki-laki, saudara
laki-laki seayah terhalang oleh saudara laki-laki sekandung.
Hijab hirman ini
dapat di bagi menjadi dua yaitu:
a.HijabBilwashfi Yaitu
menghalangi seorang ahli waris mendapatkan warisan karena sebab membunuh
muwaris dan berbeda agama. Orang yang membunuh keluarganya tidak mendapat
pusaka dari keluarganya yang di bunuhnya itu. Sabda Rasulullah SAW:’’ Yang
membunuh tidak mewarisi sesuatupun dari yang di bunuhnya ‘’.[6]
Para ulama telah sepakat bahwa orang kafir tidak mewarisi dan mewariskan harta
orang islam. Begitu pula mereka sepakat bahwa orang islam tidak mewarisi dan
mewariskan harta orang kafir. Yang di praktekkan oleh kebanyakan fuqoha adalah
perbedaan agama antara islam dan kafir menghalangi warisan dari kedua pihak.
Begitu pula mereka sepakat bahwa kafir yang seagama boleh saling mewarisi di
antara mereka apabila mereka dalam satu Negara.[7]
b. Hijab
Bisyakhsi. Yaitu
seorang ahli waris terhalang mendapatkan warisan karena ada ahli waris lain
yang lebih berhak.
b.HijabNuqshan Berkurangnya
warisan salah seorang ahli waris karena ada ahli waris lainnya. Seorang suami
terhalang mendapat ½ karena adanya keturunan anak laki-laki atau perempuan dan
ia hanya mendapat ¼. Seorang istri
terhalang mendapatkan ¼ karena suami meninggalkan keturunan dan ia hanya
mendapat 1/8. Ibu terhalang mendapatkan
1/3 karena ada anak laki-laki/ perempuan. Perempuan terhalang anak laki-laki
begitu seterusnya.
Hijab hirman bisyakhsi itu tidak
akan mengenai kepada lima orang,melainkan kepada orang-orang selain lima ini
yaitu:ayah,anak laki-laki,anak perempuan,suami atau istri,ibu. Adapun
orang-orang yang terkena hijab hirman bisyakshi seperti kakek terhalang oleh
ayah, Nenek terhalang oleh ibu,Cucu dan seterusnya ke bawah terhalang oleh anak
laki-laki,begitu seterusnya.
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan Mawaris
secara etimologi adalah bentuk jamak dari kata tunggal miras artinya warisan.
Dalam hukum islam di kenal adanya ketentuan-ketentuan tentang siapa yang
termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan, dan ahli waris yang tidak
berhak menerimanya. Istilah Fiqih Mawaris dimaksudkan ilmu Fiqih yang mempelajari siapa-siapa ahli waris yang
berhak menerima warisan, siapa yang tidak berhak menerima, serta bagian-bagian
tertentu yang di terimanya. Sedangkan Secara terminologi, Fiqih Mawaris yaitu
ilmu yang mempelajari tentang siapa orang-orang yang termasuk ahli waris, siapa
yang tidak, berapa bagian-bagiannya dan bagaimana cara menghitungnya.
Adapun
Sebab-sebab terjadinya kewarisan dalam Al-Qur’an ada 3 sebab diantaranya:
Hubungan perkawinan,hubungan kekerabatan dan hubungan memerdekakan
budak(wala’). Dzawul furudz yaitu orang-orang yang dapat mewarisi
seseorang yang meninggal dunia.Dzawul Furudz itu berjumlah 25 yang terdiri dari
15 dari pihak laki-laki dan 10 dari pihak prempuan.
Ashabah
(‘Ashobaat nasabiyah) adalah nasab atau kerabat atau ahli waris dari si mayit
yang berhak mendapatkan sisa dari harta warisan yang telah di bagikan. Jika
Ashabu Furudl tidak ada maka dan hanya satu-satunya maka dia berhak menerima
semua harta warisan, tetapi jika ada Ashabul Furudl maka Ashabah hanya akan
mendapatkan sisa. Sedangkan Hijab(dinding) dibagi menjadi 2 golongan yaitu
Hijab hirman dan Hijab nuqshan.Hijab Hirman yaitu terhalangnya mendapat warisan
karena adanya orang lain sedangkan yang di maksut hijab nuqshan yaitu
berkurangnya warisan salah seorang ahli waris karena ada ahli waris lainya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
Rofiq, Fiqih Mawaris, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1993.
Moh.Anwar,
Faraidl Hukum Waris dalam Islam dan
Masalah-Masalahnya, Surabaya: Al-Ikhlas, 1997.
Muchamad
Ali Ash-Shabuni, Ilmu Hukum Waris Menurut
Ajaran Islam, Surabaya: Mutiara Ilmu, 1388.
Mahmud
Syalthut, Fiqih Tujuh Mazhab, Bandung:
Pustaka Setia, 2000.
Muhammad
Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta:
Lentera, 2013.
Sulaiman
Rasjid,Fiqih Islam,Bandung: Sinar
Baru Algensindo, 2013.
[1]Ahmad Rofiq,Fiqih Mawaris,(Jakarta:Raja
Grafindo Persada,1993), h. 2.
[2]
Ibid., h. 3
[3]
Moh. Anwar, Faraidl Hukum Waris dalam
Islam dan Masalah-Masalahnya, (Surabaya: Al-Ikhlas,1997), h. 21
[4] Ibid., h. 23
[5]
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima
Mazhab, (Jakarta: Lentera,2013), h.
554
[6]Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung:
Sinar Baru Algensindo, 2013), h.351
[7]Mahmud Syalthut, Fiqih Tujuh Mazhab, (Bandung:
Pustaka Setia,2000), h. 293
No comments:
Post a Comment